BIOGRAFI IMAM IBNU MAJAH
Nama Lengkap dan Kelahirannya
Di suatu hari tepatnya pada tahun 207 H /
209 H. s/d 273 H = (824 M / 826 M s/d 887 M ) Allah menurunkan anugerahnya
kepada rakyat daerah Qazwin, karena di tempat itulah seorang imam yang jujur
dan cerdas dilahirkan. Imam itu adalah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid Ar-Rabi’
bin Majah Al-Qazwinî Al-Hâfidz, namun beliau biasa dipanggil Ibnu Majah.
Sebutan Majah ini dinisbatkan kepada ayahnya Yazid, yang juga dikenal dengan
sebutan Majah Maula Rab’at. Ada juga yang mengatakan bahwa Majah adalah ayah
dari Yazid. Walaupun demikian, tampaknya pendapat pertama yang lebih shahih. Kata
“Majah” adalah gelar ayah Muhammad, bukan gelar kakeknya, seperti diterangkan
penulis Qamus jilid 9, hal. 208. Ibn Katsr dalam Al-Bidayah wan-Nibayah, jilid
11, hal. 52.
Imam Ibnu Majah mulai menginjakkan kakinya
di dunia pendidikan sejak usia remaja, dan menekuni pada bidang hadits sejak
menginjak usia 15 tahun pada seorang guru yang ternama pada kala itu, yaitu Ali
bin Muhammad At-Tanafasy (wafat tanggal 233 H). Bakat dan minat yang sangat
besar yang dimilikinyalah yang akhirnya membawa Imam Ibnu Majah berkelana ke
penjuru negeri untuk menelusuri ilmu hadits. Sepanjang hayatnya beliau telah
mendedikasikan pikiran dan jiwanya dengan menulis beberapa buku Islam, seperti
buku fikih, tafsir, hadits, dan sejarah.
Dalam bidang sejarah Imam Ibnu Majah menulis
buku “At-Târîkh” yang mengulas sejarah atau biografi para muhaddits sejak awal
hingga masanya, dalam bidang tafsir beliau menulis buku “Al-Qur’ân Al-Karîm”
dan dalam bidang hadits beliau menulis buku “Sunan Ibnu Majah”. Disayangkan
sekali karena buku “At-Târîkh” dan “Al-Qur’ân Al-Karîm” tidak sampai pada
generasi selanjutnya karena dianggap kurang monumental.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Sama halnya dengan para imam-imam terdahulu yang gigih menuntut ilmu, seorang imam terkenal Imam Ibnu Majah juga melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk mencari secercah cahaya ilmu, karena ilmu yang dituntut langsung dari sumbernya memiliki nilai lebih tersendiri daripada belajar di luar daerah ilmu itu berasal. Oleh sebab itu Imam Ibnu Majah sudah melakukan rihlah ilmiyah-nya ke beberapa daerah; seperti kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Ray (Teheran) dan Konstatinopel.
Sama halnya dengan para imam-imam terdahulu yang gigih menuntut ilmu, seorang imam terkenal Imam Ibnu Majah juga melakukan perjalanan yang cukup panjang untuk mencari secercah cahaya ilmu, karena ilmu yang dituntut langsung dari sumbernya memiliki nilai lebih tersendiri daripada belajar di luar daerah ilmu itu berasal. Oleh sebab itu Imam Ibnu Majah sudah melakukan rihlah ilmiyah-nya ke beberapa daerah; seperti kota-kota di Iraq, Hijaz, Syam, Pârs, Mesir, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Damaskus, Ray (Teheran) dan Konstatinopel.
Dalam pengembaraannya Imam Ibnu Majah bertemu
banyak guru yang dicarinya, dari merekalah nantinya ia menggali
sedalam-dalamnya ilmu pengetahuan dan menggali potensinya. Rihlah ini akhirnya
menghasilkan buah yang sangat manis dan bermanfaat sekali bagi kelangsungan
gizi umat Islam, karena perjalanannya ini telah membidani lahirnya buku yang
sangat monumental, yaitu kitab “Sunan Ibnu Majah”.
Para Guru dan Murid Imam Ibnu Majah
Dalam perjalanan konteks rihlah ilmiyah-nya ternyata banyak para syeikh pakar yang ditemui sang imam dalam bidang hadits; diantaranya adalah kedua anak syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi sang imam lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu Khaitsamah Zahîr bin Harb, Duhîm, Abu Mus’ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy, Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para pengikut perawi dan ahli hadits imam Malik dan Al-Lays.
Dalam perjalanan konteks rihlah ilmiyah-nya ternyata banyak para syeikh pakar yang ditemui sang imam dalam bidang hadits; diantaranya adalah kedua anak syeikh Syaibah (Abdullah dan Usman), akan tetapi sang imam lebih banyak meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Abi Syaibah. Dan juga Abu Khaitsamah Zahîr bin Harb, Duhîm, Abu Mus’ab Az-Zahry, Al-Hâfidz Ali bin Muhammad At-Tanâfasy, Jubârah bin Mughallis, Muhammad bin Abdullah bin Numayr, Hisyam bin Ammar, Ahmad bin Al-Azhar, Basyar bin Adam dan para pengikut perawi dan ahli hadits imam Malik dan Al-Lays.
Seperti dikatakan pepatah “Ilmu yang tak
diamalkan bagaikan pohon yang tak berbuah”, bait syair ini sarat makna yang
luas. Walaupun pohon itu indah dan tegar, namun kalau tidak bisa mendatangkan
manfaat bagi yang lain maka tidak ada maknanya, seorang penuntut ilmu sejati
biasanya sangat senang sekali untuk men’transfer’ ilmunya kepada orang lain,
karena dengan seringnya pengulangan maka semakin melekatlah dalam ingatan. Imam
Ibnu Majah giat dalam memberikan pelajaran bagi murid-murid yang patut untut
diacungi jempol.
Di antara murid yang belajar padanya adalah
Abu Al-Hasan Ali bin Ibrahim Al-Qatthân, Sulaiman bin Yazid, Abu Ja’far
Muhammad bin Isa Al-Mathû’î dan Abu Bakar Hamid Al-Abhâry. Keempat murid ini
adalah para perawi Sunan Ibnu Majah, tapi yang sampai pada kita sekarang adalah
dari Abu Hasan bin Qatthân saja.
Sanjungan Para Ulama Terhadap Imam Ibnu
Majah
Berkat istiqamah dan kegigihannya dalam dunia pendidikan, ditambah lagi ketekunannya dalam disiplin hadits; maka wajar apabila Imam Ibnu Majah termasuk ulama yang paling disegani pada masanya. Dan tak heran apabila beliau sering mendapatkan penghargaan yang tinggi dan sanjungan dari ulama-ulama selainnya.
Berkat istiqamah dan kegigihannya dalam dunia pendidikan, ditambah lagi ketekunannya dalam disiplin hadits; maka wajar apabila Imam Ibnu Majah termasuk ulama yang paling disegani pada masanya. Dan tak heran apabila beliau sering mendapatkan penghargaan yang tinggi dan sanjungan dari ulama-ulama selainnya.
Abu Ya’la Al-Kahlily Al-Qazwîny berkata :
“Imam Ibnu Majah adalah seorang kepercayaan yang besar, yang disepakati tentang
kejujurannya, dan dapat dijadikan argumentasi pendapat-pendapatnya, ia
mempunyai pengetahuan luas dan banyak menghafal hadits”.
Sanjungan yang senada banyak juga yang menyampaikannya pada beliau, seperti Abu Zar’ah Ar-Râzî dan Zahaby dalam bukunya “Tazkiratu Al-Huffâdz” mengilustrasikannya sebagai ahli hadits besar dan mufassir, pengarang kitab Sunan dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan negerinya.
Sanjungan yang senada banyak juga yang menyampaikannya pada beliau, seperti Abu Zar’ah Ar-Râzî dan Zahaby dalam bukunya “Tazkiratu Al-Huffâdz” mengilustrasikannya sebagai ahli hadits besar dan mufassir, pengarang kitab Sunan dan tafsir, serta ahli hadits kenamaan negerinya.
Kejujuran, kecerdasan dan pengetahuannya
yang sangat luas telah menobatkan Imam Ibnu Majah menjadi ulama ternama.
Seorang penuntut ilmu yang cerdas tidak ada artinya apabila tidak memiliki
keindahan akhlak, tetapi seorang penuntut ilmu tadi akan lebih terhormat dan
mulia pula. Karena akhlak mulia adalah simbol atau refleksi dari ilmu yang
dimilikinya. Statement ini diperkuat dengan kalam Allah dalam Al-Quran :
“…Allah meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan dengan beberapa derajat, dan Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan.”
Seorang mufassir dan kritikus hadits besar
yang bernama Ibnu Kasir dalam karyanya “Al-Bidâyah” mengatakan : “Muhammad bin
Yazid (Ibnu Majah) adalah pengarang kitab Sunan yang masyhur. Kitabnya itu
bukti atas ilmu dan amalnya, keluasan pengetahuan dan pandangannya, serta
kredibilitas dan loyalitasnya terhadap hadits dan ushûl serta furû’.”
Begitulah sebahagian kecil sanjungan yang
diterima Ibnu Majah selama ini. Semoga Allah menyertakan beliau termasuk
golongan orang-orang yang dibanggakan-Nya di hadapan malaikat-malaikat-Nya.
Karya-karya Imam Ibnu Majah
Imam Ibnu Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:
1. Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadits yang Pokok).
2. Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
3. Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Imam Ibnu Majah mempunyai banyak karya tulis, di antaranya:
1. Kitab As-Sunan, yang merupakan salah satu Kutubus Sittah (Enam Kitab Hadits yang Pokok).
2. Kitab Tafsir Al-Qur’an, sebuah kitab tafsir yang besar manfatnya seperti diterangkan Ibn Kasir.
3. Kitab Tarikh, berisi sejarah sejak masa sahabat sampai masa Ibn Majah.
Metodologi Imam Ibnu Majah
Kalau kita berbicara seputar metodologi yang digunakan oleh imam Ibnu Majah dalam pengumpulan dan penyusunan hadits, maka seyogianyalah kita untuk mengulas dan menilik lebih lanjut dari metode sang imam dalam menyusun kitab “Sunan Ibnu Majah”. Karena buku yang digunakan sebagai salah satu referensi bagi umat Islam ini adalah buku unggulan beliau yang populer sepanjang sekte kehidupan. Walaupun beliau sudah berusaha untuk menghindarkannya dari kesalahan penulisan, namun sayang masih terdapat juga hadits-hadits yang dhoif bahkan maudû’ di dalamnya.
Kalau kita berbicara seputar metodologi yang digunakan oleh imam Ibnu Majah dalam pengumpulan dan penyusunan hadits, maka seyogianyalah kita untuk mengulas dan menilik lebih lanjut dari metode sang imam dalam menyusun kitab “Sunan Ibnu Majah”. Karena buku yang digunakan sebagai salah satu referensi bagi umat Islam ini adalah buku unggulan beliau yang populer sepanjang sekte kehidupan. Walaupun beliau sudah berusaha untuk menghindarkannya dari kesalahan penulisan, namun sayang masih terdapat juga hadits-hadits yang dhoif bahkan maudû’ di dalamnya.
Dalam menulis buku Sunan ini, Imam Ibnu
Majah memulainya terlebih dahulu dengan mengumpulkan hadits-hadits dan
menyusunnya menurut kitab atau bab-bab yang berkenaan dengan masalah fiqih, hal
ini seiring dengan metodologi para muhadditsîn yang lain. Setelah menyusun
hadits tersebut, imam Ibnu Majah tidak terlalu memfokuskan ta’lîqul Al-Hadits
yang terdapat pada kitab-kitab fikih tersebut, atau boleh dikatakan beliau
hanya mengkritisi hadits-hadits yang menurut hemat beliau adalah penting.
Seperti kebanyakan para penulis kitab-kitab fikih yang lain, dimana setelah
menulis hadits mereka memasukkan pendapat para ulama fâqih setelahnya, namun
dalam hal ini Imam Ibnu Majah tidak menyebutkan pendapat para ulama fâqih
setelah penulisan hadits.
Sama halnya dengan imam Muslim, imam Ibnu
Majah ternyata juga tidak melakukan pengulangan hadits berulang kali kecuali
hanya sebahagian kecil saja dan itu penting menurut beliau.
Ternyata kitab Sunan ini tidak semuanya diriwayatkan oleh Ibnu Majah seperti
perkiraan orang banyak selama ini, tapi pada hakikatnya terdapat di dalamnya
beberapa tambahan yang diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Qatthany yang juga
merupakan periwayat dari “Sunan Ibnu Majah”. Persepsi ini juga sejalan pada
“Musnad Imam Ahmad”, karena banyak orang yang menyangka bahwa seluruh hadits di
dalamnya diriwayatkan seluruhnya oleh beliau, akan tetapi sebahagian darinya
ada juga yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dan sebahagian kecil
oleh Al-Qathî’î, namun imam Abdullah lebih banyak meriwayatkan dibanding dengan
Al-Qathî’î. Namun dalam pembahasan kali ini kita kita tidak berbicara banyak
seputar “Musnad Imam Ahmad”, karena biografi dan metodologi beliau telah diulas
pada diskusi sebelumnya.
Ketika Al-Hasan Al-Qatthâny mendapatkan
hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Sya’bah dengan perantara perawi
lainnya, dan pada hadits yang sama juga beliau mendapatkan perawi selain
gurunya Ibnu Majah, maka hadits ini telah sampai pada kategori hadits Uluwwu
Al-Isnâd meskipun beliau hanya sebatas murid dari sang imam Ibnu Majah, namun
derajatnya sama dengan gurunya dalam subtansi Uluwwu Al-Hadîts tersebut, ada
juga berhasil disusun oleh sang imam dengan uraian sebanyak 32 kitab menurut
Zahaby, dan 1500 bab menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthâny serta 4000 hadits.
Sekilas Tentang Kitab “Sunan Ibnu Majah”
Para
ulama memandang bahwa kitab hadits Imam Ibnu Majah “Sunan Ibnu Majah” sebagai
kitab keenam dari Kutubussittah
setelah Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Jami’ at-Tirmidzi dan Sunan an-Nasa`i.
Ada baiknya terlebih dahulu untuk membedah
data buku monumental ini. Agar kita lebih terkesan dan tertarik lagi untuk menginfestasikan
diri kita pada bidang hadits.
Buku hadits yang dikarang oleh Imam Ibnu
Majah ini dikenal dengan nama “Sunan Ibnu Majah”. Karena termasuk buku yang
telah menyita perhatian bagi umat Islam, sehingga Abu Al-Hasan Muhammad Shâdiq
bin Abdu Al-Hady As-Sanady (wafat tahun 1138) pun mendedikasikan pikirannya
untuk men-syarah buku ini yang kemudian akhirnya di-ta’lîq oleh Fuad Abdu
Al-Bâqy.
Kitab ini memiliki keistimewaan yang patut
diberikan applause, berkat kegigihan imam Ibnu Majah dalam menciptakan karya
yang terbaik dan bermanfaat bagi Muslim sedunia, dapat kita lihat bahwa buku
ini memiliki susunan yang baik dan tidak ada pengulangan hadits yang serupa
kecuali memang dianggap penting oleh sang Imam. Shiddîq Hasan Khân dalam kitab
‘Al-Hittah’ berkata, “Tidak ada ‘Kutubu As-Sittah’ yang menyerupai seperti ini
(baca : Kitab “Sunan Ibnu Majah”), karena ia menjaga sekali adanya pengulangan
hadits-hadits, walaupun ada itupun hanya sebahagian kecil saja. Seperti imam
Muslim R.A. halnya yang mendekati buku ini. Dimana beliau tidak mengadakan
pengulangan hadits dalam beberapa sub judul kitab, tapi beliau mengulang hadits
tersebut dalam hanya dalam satu judul.
Buku “Sunan Ibnu Majah” terdiri dari 32
(tiga puluh dua) kitab menurut Al-Zahabî, dan 1500 (seribu lima ratus) bab
menurut Abu Al-Hasan Al-Qatthanî, dan terdiri dari 4000 (empat ribu) hadits
menurut Az-Zahabî. Tapi kalau kita teliti ulang lagi dengan melihat buku yang
di-tahqîq oleh Muhammad Fuad Abdul Bâqî rahimahullah, bahwa buku ini berjumlah
37 (tiga puluh tujuh) kitab selain dari muqaddimah, berarti kalau ditambah
dengan muqaddimah maka jumlahnya 38 (tiga puluh delapan) kitab. Sedangkan
jumlah babnya terdiri dari 1515 (seribu lima ratus lima belas) bab dan 4341
(empat ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits. Hal ini disebabkan adanya
perbedaan nasakh.
Kitab hadits yang terdiri dari 4341 (empat
ribu tiga ratus empat puluh satu) hadits ini ternyata 3002 (tiga ribu dua)
hadits diantaranya telah di-takhrîj oleh Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud,
Tirmidzi, Nasai dan yang lainnya. Dan 1239 (seribu dua ratus tiga puluh
sembilan) hadits lagi adalah tambahan dari Imam Ibnu Majah.
Klasifikasi hadits tersebut adalah :
- Empat ratus tiga puluh delapan hadits diriwayatakan oleh para rijâl yang terpercaya dan sanadnya shahih.
- Seratus sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah hasan
- Enam ratus tiga belas hadits sanadnya dho’îf
- Sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah mungkar, wâhiah dan makzhûbah
- Empat ratus tiga puluh delapan hadits diriwayatakan oleh para rijâl yang terpercaya dan sanadnya shahih.
- Seratus sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah hasan
- Enam ratus tiga belas hadits sanadnya dho’îf
- Sembilan puluh sembilan hadits sanadnya adalah mungkar, wâhiah dan makzhûbah
Kedudukan Sunan Ibn Majah di antara Kitab-kitab Hadits
Sebagian ulama tidak memasukkan Sunan Ibn Majah ke dalam kelompok “Kitab Hadits Pokok” mengingat derajat Sunan ini lebih rendah dari kitab-kitab hadits yang lima.
Sebagian ulama yang lain menetapkan, bahwa kitab-kitab hadits yang pokok ada enam kitab (Al-Kutubus Sittah/Enam Kitab Hadits Pokok), yaitu:
1. Sahih Bukhari, karya Imam Bukhari.
2. Sahih Muslim, karya Imam Muslim.
3. Sunan Abu Dawud, karya Imam Abu Dawud.
4. Sunan Nasa’i, karya Imam Nasa’i.
5. Sunan Tirmizi, karya Imam Tirmizi.
6. Sunan Ibn Majah, karya Imam Ibn majah.
Ulama pertama yang memandang Sunan Ibn
Majah sebagai kitab keenam adalah al-Hafiz Abul-Fardl Muhammad bin Tahir
al-Maqdisi (wafat pada 507 H) dalam kitabnya Atraful Kutubus Sittah dan dalam
risalahnya Syurutul ‘A’immatis Sittah.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebagian besar ulama yang kemudian.
Pendapat itu kemudian diikuti oleh al-Hafiz ‘Abdul Gani bin al-Wahid al-Maqdisi (wafat 600 H) dalam kitabnya Al-Ikmal fi Asma’ ar-Rijal. Selanjutnya pendapat mereka ini diikuti pula oleh sebagian besar ulama yang kemudian.
Mereka mendahulukan Sunan Ibnu Majah dan
memandangnya sebagai kitab keenam, tetapi tidak mengkategorikan kitab Al
Muwatta’ karya Imam Malik sebagai kitab keenam, padahal kitab ini lebih sahih
daripada Sunan Ibn Majah, hal ini mengingat bahwa Sunan Ibn Majah banyak zawa’idnya
(tambahannya) atas Kutubul Khamsah. Berbeda dengan Al-Muwatta’, yang
hadits-hadits itu kecuali sedikit sekali, hampir seluruhnya telah termuat dalam
Kutubul Khamsah.
Di antara para ulama ada yang menjadikan
Al-Muwatta’ karya Imam Malik ini sebagai salah satu Usulus Sittah (Enam Kitab
Pokok), bukan Sunan Ibn Majah. Ulama pertama yang berpendapat demikian adalah
Abul Hasan Ahmad bin Razin al-Abdari as-Sarqisti (wafat sekitar tahun 535 H)
dalam kitabnya At-Tajrid fil Jam’i Bainas-Sihah. Pendapat ini diikuti oleh Abus
Sa’adat Majduddin Ibnul Asir al-Jazairi asy-Syafi’i (wafat 606 H). Demikian
pula az-Zabidi asy-Syafi’i (wafat 944 H) dalam kitabnya Taysirul Wusul.
Oleh sebab itu buku ini dianggap istimewa disebabkan isinya mayoritas diisi dengan hadits yang shahih, sedangkan hadits yang mungkar dan wâhiah hanya sedikit.
Oleh sebab itu buku ini dianggap istimewa disebabkan isinya mayoritas diisi dengan hadits yang shahih, sedangkan hadits yang mungkar dan wâhiah hanya sedikit.
Menurut syeikh Al-Bâny, dalam sunan ini terdapat sekitar delapan ratus hadits
yang masuk dalam kategori hadits dho’îf. Kesalahan dan kekhilapan adalah suatu
hal yang biasa , namun kesilapan itu akhirnya lebih berarti daripada tidak
berbuat sama sekali. Ahmad bin Sulaiman Ayyub dalam bukunya “Musthalah
Al-Hadîts lilhadîts Al-Bâni” mengatakan bahwa Imam Ibnu Majah tidak menghukumi
bahwa kitabnya ma’sûm dari maudhû’, maka seandainya ia tidak menghukumi seperti
itu, maka ia telah berkontroversi karena realitanya tidak begitu.
Wafatnya
Suatu hari umat Islam di dunia ditimpa
ujian, kesedihan menimpa kalbu mereka. Karena setelah memberikan kontribusi
yang berarti bagi umat, akhirnya sang imam yang dicintai ini dipanggil oleh
yang Maha Kuasa pada hari Senin tanggal 22 Ramadhan 273 H/887 M. Almarhum
dimakamkan hari Selasa di tanah kelahirannya Qazwîn, Iraq.
Ada pendapat yang mengatakan beliau
meninggal pada tahun 275 H, namun pendapat yang pertama lebih valid. Walaupun
beliau sudah lama sampai ke finish perajalanan hidupnya, namun hingga kini
beliau tetap dikenang dan disanjung oleh seluruh umat Islam dunia. Dan ini
adalah bukti bahwa beliau memang seorang ilmuan sejati.